Efek Domino Banjir Bagi Masyarakat
Sabtu, 22 September 2018 | Dibaca 309 kali

Ilustrasi
Oleh: Suadi.
Setelah beberapa bulan dilanda musim kemarau panjang, kini berganti musim hujan. Dari mulanya cuaca harian terasa panas menyengat, gerah, asap polusi dan debu beterbangan di mana-mana serta tumbuhan nampak layu, kini berganti menjadi sejuk, dingin, udara terasa segar dan tumbuhan kembali hijau.
Hanya satu hal yang tidak diharapkan dan begitu horror di musim penghujan, yaitu banjir. Hampir tiap musim hujan acapkali identik membawa konsekuensi banjir di mana-mana. Baru-baru ini, beberapa daerah di Provinsi Sumatera Utara diterjang banjir akibat diguyur hujan lebat.
Baru beberapa kali hujan lebat mengguyur, beberapa titik di Kota Binjai dan Kota Medan terendam banjir. Di Binjai, banjir terjadi akibat meluapnya Sungai Mencirim. Tidak tanggung-tanggung, ratusan rumah di tiga kecamatan di Binjai yaitu Binjai Kota, Binjai Timur dan Binjai Selatan terendam banjir setinggi 50 cm sampai 100 cm. Sementara di Kota Medan, banjir melanda beberapa kawasan setinggi 1 meter sampai 2 meter seperti seputar kampus USU, Jalan Diponegoro, Medan Selayang, Medan Maimun dan Padang Bulan.
Banyak faktor penyebab kenapa banjir begitu mudah melanda tiap hujan lebat mengguyur. Di antaranya sungai dan anak sungai dalam kondisi dangkal dan penuh sampah sehingga mudah meluap tiap hujan deras, saluran drainase tersumbat dan dipenuhi sampah, minimnya biopori, minimnya jumlah pepohonan yang berguna menyerap air dan maraknya bangunan dengan fondasi beton yang menutup jalan air di bawah tanah.
Butuh waktu bertahun-tahun sampai puluhan tahun untuk merekontruksi tata kota dan budaya warganya sehingga lebih ramah lingkungan. Namun cukup waktu singkat andai muncul sosok pemimpin berani dan tegas dengan gebrakan solutif dan responsif untuk mengatasinya. Sudah pasti, banjir yang terjadi memiliki dampak merugikan yang luar biasa di segala aspek kehidupan.
Efek Domino Banjir
Efek domino banjir menjalar ke mana-mana. Kerugian paling telak terutama banjir setinggi 1 meter sampai 2 meter, adalah lumpuhnya aktivitas warga dan lumpuhnya aktivitas ekonomi. Mau berangkat kerja dihadapkan kenyataan bahwa kendaraan sepeda motor, mobil dan angkutan umum tidak bisa beroperasi karena akses jalan tertutup banjir. Jikapun memaksakan diri, mesin kendaraan bisa mati kemasukan air atau bisa juga terpaksa menggunakan jasa perahu karet.
Pasar, swalayan, minimarket, toko-toko, warung, kios, pedaang keliling dan usaha-usaha lainnya berhenti total terkendala banjir. Hal tersebut berakibat omset harian turun drastis dari hari-hari biasanya. Keadaan tersebut diperparah berhentinya distribusi barang kebutuhan dari pabrik atau grosir karena transportasi seperti truk dan sejenisnya tidak bisa melewati genangan air banjir yang tinggi.
Mau belanja dan membeli barang kebutuhan sehari-hari, juga terkendala air di mana-mana. Bahkan sekadar mau menanak nasi, memasak ikan dan sayur, terpaksa hati-hati karena genangan air di mana-mana. Belum terhitung hampir tiap sudut rumah tergenang banjir dan berlumpur dan beberapa perabotan ikut hanyut dan bisa lapuk jika lama terendam air.
Kegiatan sosial juga terganggu karena mustahil bersilaturahmi, berkumpul dan mengobrol dengan tetangga, teman dan sanak famili bila dalam kondisi banjir.
Begitu besarnya dampak kerugian akibat banjir. Seperti DKI Jakarta pada 2015 menderita kerugian Rp1,5 triliun karena banjir membuat 75.000 kios dan toko lumpuh total. Bandung pada 2016 silam menderita Rp16 miliar akibat banjir. Bantul Yogyakarta pada 2017 juga menderita Rp50 miliar akibat banjir. Kabupaten Aceh Utara di Aceh pada 2017 silam rugi Rp300 miliar akibat banjir melanda 16 kecamatan.
Efek domino banjir tidak semata soal air meluap dan merendam pemukiman, tetapi merugikan hampir semua aspek, bahkan terkadang menyebabkan korban jiwa. Yang paling sakit adalah warga yang terkena banjir. Bagaimanapun mereka lah korban yang paling menderita. Belum lagi hilangnya waktu produktif yang digunakan pasca banjir untuk membersihkan rumah dari lumpur dan sampah yang dibawa banjir.
Namun sayang, sudah berkali-kali dilanda banjir, belum nampak ada pemerintah daerah baik di tingkat provinsi, kota/kabupaten yang punya strategi jitu mengatasi banjir secara efektif dan permanen. Yang ada hanya kebijakan jangka pendek dan populis yang tidak menjamin misalnya mengeruk sungai dan mengeruk drainase sepanjang pinggir jalan.
Rugi Segalanya
Jelas, banjir membuat hampir semua pihak dirugikan. Kantor, pabrik dan tempat kerja rugi karena karyawan tidak bisa datang terjebak banjir. Akibatnya kinerja dan produksi menurun drastis. Sekolah dan layanan publik juga rugi karena guru, siswa dan pegawai terpaksa bolos. Jikapun hadir, produktifitas ikut menurun karena faktor terlambat, kurang fokus dan mahalnya biaya transportasi ekstra di momen banjir.
Pemerintah setempat ikut kecipratan. Marwah dan martabat pemerintah setempat ikut tercoreng. Masyarakat otomatis menilai bahwa pemerintah tidak mampu mengatasi dan memberikan solusi terkait persoalan banjir.
Jika dirunut sampai ke akar-akarnya, memang semua bersalah dan sama-sama rugi. Tidak semata faktor alam yaitu hujan lebat, tetapi juga faktor tata ruang, drainase dan pendangkalan sungai. Begitu pula budaya buang sampah sembarangan warga serta minimnya kesadaran membuat biopori dan jalur drainase ketika mendirikan bangunan dengan fondasi beton. Air hujan menggenang dan tidak menemukan celah untuk mengalir ke tempat semestinya. Sehingga walau hujan deras tak sampai satu jam, sudah tercipta banjir. Saban tahun episode seperti itu terus berulang.
Jadi, kesimpulannya, semua dituntut untuk sadar. Pemerintah dengan kewenangannya mengurus pengerukan sungai, membangun drainase dan memperbaiki tata ruang kota lebih ramah lingkungan, sementara warga dengan kesadarannya ikut peduli lingkungan sekitar di antaranya buang sampah dan limbah rumah tangga ke tempatnya, bukan ke sungai, got, saluran drainase apalagi di tengah jalan dan ruang publik.
Hentikan telunjuk menuding dan menyalahkan siapapun. Tetapi mulai insyaf dan ambil tindakan, kira-kira apa yang bisa diperbuat untuk mencegah (walau efeknya sangat kecil bahkan tidak terasa), agar banjir tidak datang lagi. Satu orang berbuat mungkin efeknya nihil. Tapi kalau satu masyarakat dan satu kota sadar dan bergerak bersama untuk mencegah banjir sejak dini maka hasilnya akan fantantis!***
Penulis alumnus UMSU S1 & UNNES S2.
Terkini

Kamis, 21 Februari 2019