Elpiji, Barang Hak Publik
Sabtu, 13 Januari 2018 | Dibaca 193 kali
Oleh: Fatimahhakki Salsabela M, SPsi.
Miris melihat seorang ibu rumahtangga Nanik (35) warga Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deliserdang berkeliling mencari gas bersubsidi isi ulang tabung tiga kilogram. Sementara belum ada makanan yang dimasaknya tersaji di meja makan. Dia bingung siang nanti anak-anaknya pulang dari sekolah pasti sudah lapar dan harus makan siang.
Tabung gas 3 kilogram yang kosong dibawanya berkeliling untuk ditukar dengan tabung gas 3 kilogram yang berisi gas. Di dapur rumahnya yang berukuran 3 kali 3 meter itu hanya ada kompor gas. Kompor minyak tanah sudah lama disimpannya sebab tidak ada lagi minyak tanah dijual.
Nanik sebulan terus kewalahan untuk mendapatkan gas 3 kilogram pada hal gas itu sangat penting baginya untuk memasak semua kebutuhan makan/minum bagi keluarganya. Nanik menjadi panik, belum lagi harga gas yang mahal. Sudah mahal sulit lagi mendapatkannya.
Konversi minyak tanah ke elpiji tiga kilogram diberlakukan sejak tahun 2007 hingga kini. Awalnya karena subsidi minyak tanah dikurangi dan diminta beralih ke gas tabung 3 kilogram. Kini gas bersubsidi 3 kilogram langka. Harga Eceran Tertinggi (HET) elpiji tiga kilogram Rp18.000/tabung harus dibeli Rp21.000/tabung, tetapi masih juga sulit diperoleh. Nanik bingung sebab tidak tahu pasti mengapa gas elpiji 3 kilogram itu sulit diperolehnya. Pada hal ditabung gas 3 kilogram itu ditulis khusus untuk orang miskin, sedangkan Nanik keluarga miskin.
Dari Awal Sudah Pro dan Kontra
Kebijakan pemerintah awal tahun 2007 meluncurkan konversi minyak tanah ke LPG (Liquid Petroleum Gas) yang selanjutnya disebut elpiji sejak awal sudah pro dan kontra sebab terkesan terburu-buru ditetapkan.
Wajar pro dan kontra atas kebijakan pemerintah kala itu. Konversi minyak tanah ke gas kala itu dikarenakan harga minyak mentah internasional cenderung melonjak sangat tajam. Bila harga minyak tanah dalam negeri dipertahankan maka pemerintah harus mengeluarkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang besar untuk mensubsidinya. Kontra karena rakyat yang dikorbankan untuk menyelamatkan APBN.
Alasan lainnya kala itu program konversi minyak tanah ke elpiji berdasarkan kesetaraan nilai kalori, subsidi elpiji lebih rendah dari pada subsidi minyak tanah. Penghematan subsidi dapat mencapai Rp15-20 triliun jika program berhasil. Pemikiran lainnya elpiji lebih sulit dioplos dan disalahgunakan. Pemikiran itu ternyata salah, ternyata kini paling mudah mengoplosnya. Disamping itu menjadi peluang pangkalan nakal menyelinapkan gas milik warga miskin ke pelaku usaha makro, restoran dan sebagainya.
Dasar pertimbangan penyelamatan APBN dan lebih murah mensubsidi gas dari minyak tanah maka dilakukan percepatan konversi dengan dua cara membagikan tabung gas gratis dan menambah pemasok gas dan menarik minyak tanah bersubsidi. Berdasarkan data dari Pertamina September 2010, setelah program berjalan selama 3 tahun, hingga akhir Agustus 2010 telah didistribusikan 45,5 juta paket elpiji kepada masyarakat.
Data tersebut menyebutkan telah berhasil mengurangi konsumsi minyak tanah (kerosene) dari 9,9 kiloliter pada tahun 2007 menjadi 5,8 kiloliter pada tahun 2010 serta memberikan kontribusi penghematan subsidi hingga Rp21,78 triliun.
Konversi minyak tanah ke elpiji kurun waktu 2007 hingga 2010 relatif aman. Masyarakat mulai terbiasa menggunakan elpiji, masyarakat senang sebab tabung gas 3 kilogram diberikan gratis dan harga satu tabung gas 3 kg Rp14.000,- serta mudah didapat.
Kini masyarakat mulai merasakan menggunakan gas tabung tiga kilogram tidak lagi nyaman, terganggu dengan kelangkaan. Sementara alternatif lain tidak ada. Bukan cuma langka harga barang bersubsidi ini mahal dan menyulitkan masyarakat miskin. Penjualan gas tabung 3 kilogram tidak lagi sesuai dengan HET Rp18.000,- per tabung.
Ternyata bukan Nanik di Percut Seituan Deliserdang, Sumatera Utara saja yang merasakan kelangkaan gas tabung 3 kilogram tetapi hampir semua warga di provinsi yang ada di Indonesia. Masih beruntung Nanik di Sumatera Utara, di Palembang harganya sampai Rp35.000 per tabung. Begitu juga di Pekanbaru, Bengkalis dan daerah lainnya.
Mengapa Bisa Langka
Menjadi pertanyaan besar mengapa bisa langka gas elpiji tabung 3 kilogram itu? Pada hal pihak PT. Pertamina selalu mengatakan di media massa tidak ada pengurangan kuota dari PT Pertamina selaku produsen elpiji dan pasokan seperti biasanya tanpa kendala.
Memang benar Pertamina tidak ada pengurangan kuota gas elpiji tabung 3 kilogram untuk masyarakat miskin untuk Nanik dan lainnya. Namun, mengapa langka dan Nanik sulit mendapatkannya. Sulitnya mendapatkan bahan bakar, apalagi khususnya bagi mereka yang miskin keterbatasan dana, akses dan pengetahuan membuat keterpurukan dan kemiskinan semakin mendalam.
Banyak pihak tidak sependapat uang triliunan rupiah untuk subsidi rakyat miskin tetapi rakyat miskin tidak menikmatinya, justru dinikmati mereka yang kaya dan mampu. Pertamina memang tidak ada pengurangan kuota gas elpiji tabung 3 kilogram untuk masyarakat miskin. Namun, kelangkaan terjadi disebabkan sifat atau keberadaan barang itu merupakan hak publik. Akar masalahnya karena gas elpiji itu merupakan barang publik.
Analisis psikologi konsumen menyebutkan barang kebutuhan semua orang merupakan barang publik yang semua orang memiliki hak yang sama. Tidak bisa atau akan sulit untuk membedakannya. Semua barang yang merupakan kebutuhan banyak orang adalah barang publik. Gas elpiji masuk pada golongan barang publik. Semua orang, mulai dari anak bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan orang lanjut usia membutuhkan gas elpiji sebab sebagai alat memasak makanan yang dimakan semua orang.
Gas elpiji barang yang tidak membedakan usia dan jenis kelamin. Ada barang yang membedakan usia dan jenis kelamin, barang seperti ini juga hak publik tetapi dalam lingkup terbatas. Misalnya pakaian wanita dan pria, jenis makanan berdasarkan usia dan lainnya. Beda dengan gas elpiji, dibutuhkan semua orang dari semua usia dan jenis kelamin.
Dalam psikologi konsumen, barang tergolong hak publik sulit untuk membedakan peruntukannya. Bila barang hak publik dilakukan pembedaan peruntukan maka terjadi penyimpangan seperti gas elpiji yang dioplos karena meskipun dioplos bentuk barang itu tidak berubah, bisa jadi hanya kemasannya saja yang berubah. Psikologi konsumen ini tidak diperhatikan dalam menentukan sifat, keberadaan satu barang. Apakah barang hak publik secara total atau barang hak publik terbatas.
Kelangkaan gas elpiji dipastikan tidak terjadi bila barang hak publik tidak terbatas itu tidak dibedakan peruntukannya. Sederhana saja, mengapa dahulu minyak tanah tidak langka? Mengapa kini gas elpiji langka? Pada hal minyak tanah dan gas elpiji sama-sama barang hak publik tidak terbatas. Jawabnya sederhana saja sebab minyak tanah dahulu sebelum dikonversi ke elpiji dijual tanpa membedakan peruntukan. Semua boleh membeli minyak tanah dari berbagai strata sosial ekonomi. Subsidi minyak tanah diperlakukan sesuai dengan psikologi konsumen yakni semua minyak tanah disubsidi dan semua orang (rakyat) boleh membelinya tanpa dibeda-bedakan. Akhirnya minyak tanah tidak pernah langka.
Meskipun tidak dibeda-bedakan, semua orang bebas membeli minyak tanah untuk memasak ternyata tidak semua orang mempergunakan minyak tanah untuk memasak. Banyak juga yang mempergunakan gas elpiji tabung 12 kilogram sebab wujud atau bentuk barang, minyak tanah dan gas elpiji berbeda nyata. Secara psikologi konsumen pasti berbeda konsumen minyak tanah dan gas elpiji meskipun minyak tanah disubsidi dan gas elpiji tidak. Bila demikian maka agar gas elpiji tabung 3 kilogram tidak langka harus dikembalikan kepada psikologi konsumen bahwa gas elpiji adalah barang hak publik tidak terbatas, jangan dilakukan pembedaan peruntukan untuk konsumen. Mudahkan! ***
Penulis alumni Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, pemerhati masalah psikologi masyarakat.
Terkini

Kamis, 19 April 2018