Fenomena Bangkai Babi yang Bikin Emosi
Kamis, 14 November 2019 | Dibaca 281 kali

foto/ilustrasi
Oleh: Array A Argus
HOG cholera atau yang disebut classical swine fever (CSF) adalah penyakit virus babi yang cukup serius dan mematikan. Di Sumatera Utara, kasus serupa pernah terjadi pada 1995. Setelah 24 tahun tidak terdengar lagi, kini virus tersebut kembali mewabah. Hingga November 2019, tercatat sudah 5.800 ekor babi yang mati, dari jumlah sebelumnya 4.682 ekor. Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara, Azhar Harahap, virus ini pertama kali ditemukan di Kabupaten Dairi pada pertengahan September 2019. Dalam laporannya, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Dairi menyebut ada puluhan ekor babi yang mati mendadak. Menurut pengakuan sejumlah peternak, babi yang mati itu sempat tidak nafsu makan, dan kulitnya timbul ruam seperti bintik-bintik. Kemudian, babi selalu dalam keadaan lemas dengan bola mata memerah dan mengering.
Menerima laporan itu, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi dan Kabupaten Dairi turun ke sejumlah peternakan. Hasilnya, ditemukan fakta bahwa babi yang mati memang terserang wabah hog cholera. Untuk membendung penyebarannya, dinas terkait kemudian menyuntikkan vaksin kepada sejumlah hewan ternak yang masih hidup. Namun, langkah ini agaknya telat. Virus keburu menyebar ke kabupaten lain, seperti Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tanah Karo, bahkan Kabupaten Deliserdang serta Kota Medan. Ada dugaan, massifnya penyebaran virus hog cholera ini karena babi yang mati itu sempat bercampur kandang, dan bahkan satu pengangkutan.
Berdasarkan keterangan sejumlah pengamat dan pakar kesehatan, virus ini sangat mudah menyebar, bahkan hanya dengan air liur. Setelah virus ini mewabah dan mengganas, ditemukan fakta baru jika babi yang mati di Kabupaten Tanah Karo tidak hanya terserang virus hog cholera saja. Dari uji lab yang dilakukan Balai Venteriner Medan, babi di Tanah Karo dan Kabupaten Dairi justru terindikasi terserang virus flu babi Afrika atau African Swine Fever (ASF). Menurut para ahli, virus ini lebih sulit dicegah ketimbang hog cholera. Meskipun babi sudah disuntik vaksin, tetap saja virus ASF lebih mematikan dari hog cholera yang lebih dulu menyebar. Begitu babi terserang virus ASF, dipastikan babi akan mati.
“ASF ini di dunia belum ada obatnya. Vaksinnya belum ada. Jadi itu yang membedakannya dengan hog cholera yang vaksinnya sudah ada,” kata Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia sebagaimana dilansir kompas.com belum lama ini. Meskipun virus ASF ini tidak menular secara langsung kepada manusia, namun patut diwaspadai proses mutasinya. Sebab, menurut Dokter Sanitasi di Rusia, Gennady Onishchenko, fisiologi babi dekat dengan fisiologi manusia. Ia khawatir, virus yang ada di tubuh babi bermutasi dan membahayakan manusia itu sendiri.
Maka dari itu, karena khawatir virus ASF maupun CSF bermutasi, para peternak dan perusahaan yang mengembangbiakkan babi disarankan untuk memusnahkan ternaknya yang sudah terserang virus tersebut. Salah satu caranya dengan menanam bangkai babi. Jika tidak ingin repot-repot, sebaiknya babi dibakar saja. Sehingga virus yang ada di tubuh babi ikut musnah terbakar. Sayangnya, meskipun pemerintah daerah sudah berulangkali menyampaikan imbauan, tetap saja ada oknum peternak maupun pengusaha yang membuang bangkai babi sembarangan. Fenomena ini pun membuat emosi dan resah masyarakat yang tinggal di bantaran sungai khususnya. Sebab, babi yang sudah mati itu dibuang sembarangan ke sejumlah sungai di kawasan Medan Marelan.
Seperti kasus yang saat ini tengah menjadi sorotan. Sudah seminggu belakangan, ratusan bangkai babi mengambang di Sungai Bederah, Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan. Tidak hanya itu, bangkai babi juga terlihat di Danau Siombak, Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan. Menurut informasi yang dikumpulkan penulis, banyaknya bangkai babi itu diduga berasal dari Kecamatan Hamparan Perak. Sebab, sebagaimana keterangan Kabid Peternakan Dinas Pertanian Deliserdang, Ruslan P Simanjuntak, ternak babi yang paling banyak mati berada di Kecamatan Hamparan Perak. Sebagaimana kita tahu, Kecamatan Hamparan Perak ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Medan Marelan. Jumlah babi yang mati di Kecamatan Hamparan Perak ini pun cukup banyak, yakni mencapai 700 ekor. Kemudian, disusul di wilayah Kecamatan Percut Seituan sebanyak 550 ekor.
Menurut hemat penulis, pembuangan bangkai babi ini seharusnya tidak terjadi jika dinas terkait rutin melakukan pengawasan. Munculnya kasus ini justru menguak bahwa pemerintah daerah sudah kecolongan. Mereka pun bingung saat ditanya siapa pelaku pembuangan bangkai babi ini. Jika saja dinas terkait rutin menjalankan tugas pokok dan fungsinya, barangkali pembuangan bangkai babi tidak semassif seperti sekarang ini. Kalaupun ada peternak atau pengusaha yang nekat membuang bangkai babi sembarangan, tentu sudah dapat diketahui siapa pelakunya.
Sayangnya, sampai detik ini tidak diketahui siapa orang yang dengan sengaja mencemari lingkungan itu. Masyarakat pun terlanjur kasak-kusuk. Mereka mempertanyakan kinerja pemerintah terhadap kejadian ini. Sebab, keberadaan bangkai babi tersebut benar-benar mengganggu kenyamanan warga. Bau busuk yang ditimbulkan memicu polusi udara. Kemudian, banyaknya bangkai babi yang mengambang di sungai juga dikhwatirkan memperburuk kesehatan masyarakat, yang barangkali masih melakukan aktivitas mencuci dan mandi di sungai. Sudah dapat dipastikan, jika masyarakat terpapar air yang tercemar itu, penyakit awal yang muncul adalah gatal-gatal pada kulit. Air yang tercemar akibat bangkai babi akan bercampur dengan kuman yang muncul dari perut babi yang pecah karena terlalu lama terendam air.
Picu Kerugian
Gara-gara masalah ini, timbul masalah sosial lain. Masyarakat yang selama ini menjual daging babi kehilangan omset. Para penikmat daging babi enggan mengkonsumsi hewan berkaki empat itu, karena khawatir tertular virus CSF dan ASF. Meski sebagian pihak menyatakan CSF dan ASF tidak menular pada manusia, tetap saja ada rasa takut di benak masyarakat. Stigma virus yang kian mengganas membuat penikmat babi mengurungkan niatnya menyantap hewan tersebut. Mereka lebih memilih mengonsumsi daging ayam, ketimbang daging babi. Kemudian, kerugian serupa juga dialami warga Kecamatan Medan Marelan yang selama ini bekerja sebagai nelayan. Ikan yang sudah terlanjur ditangkap tidak laku dijual. Masyarakat yang selama ini rutin mengonsumsi ikan yang dijual di kawasan Medan Marelan juga ketakutan. Mereka khawatir ikan yang ditangkap di kawasan Medan Marelan terpapar kuman dari bangkai babi.
Karena dampak sosial yang ditimbulkan cukup mengkhawatirkan, penulis berpendapat Pemerintah Kota Medan dan Pemprov Sumut harus segera mengambil langkah yang bijak. Setidaknya memberikan edukasi kepada masyarakat. Benar atau tidak, ikan yang terpapar bangkai babi itu masih aman dikonsumsi. Jika ikan yang terpapar bangkai babi itu memang tidak layak dikonsumsi, langkah seperti apa yang harus diambil. Apakah meminta nelayan di Medan Marelan sementara waktu tidak menangkap ikan, atau justru menyarankan nelayan menangkap ikan di wilayah lain. Tidak hanya merugikan penjual daging babi dan nelayan saja sebenarnya, keberadaan bangkai babi ini nyaris mematikan tempat wisata Danau Siombak. Masyarakat yang tadinya hendak berakhir pekan di wilayah itu, buru-buru mengurungkan niatnya. Sebab, bau busuk di lokasi konon masih sangat terasa. Masyarakat khawatir, jika berkunjung ke sana akan terpapar kuman yang ada di dalam air Danau Siombak.
Berkaitan dengan persoalan ini, penulis berpendapat bahwa Pemerintah Kota Medan dan Pemprov Sumut harus bekerja keras membersihkan sungai dari seluruh bangkai babi. Sebagaimana kita tahu, jumlah bangkai babi yang terdata saat ini saja sudah mencapai ratusan yang dibuang ke sungai. Itu bangkai yang berhasil ditemukan petugas dan aktivis lingkungan di Sungai Bederah dan Danau Siombak saja. Belum lagi bangkai babi yang barangkali tersangkut di tempat-tempat terpencil, atau rawa yang muaranya menuju ke perairan di Belawan. Jika bangkai babi ini sudah berhasil dikumpulkan, sebaiknya langsung dibakar saja. Dengan begitu, ada harapan virus yang masih melekat pada bangkai babi bisa musnah.
Jerat Hukum
Karena dampak pembuangan bangkai babi ini sangat mengkhawatirkan, penulis sependapat dengan rencana Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi yang ingin menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur (Pergub). Setidaknya, Perda atau Pergub itu dapat mengatur mekanisme tata kelola peternakan, dan hukuman bagi mereka yang dengan sengaja membuang bangkai ternaknya sembarangan, seperti di sungai dan tempat umum. Dalam Perda atau Pergub yang bakal dibuat itu, sebaiknya mengacu pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya mengenai jerat hukum bagi mereka yang sengaja mencemari lingkungan.
Pada Pasal 98 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 99 ayat (1), (2) dan (3) UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut sudah dijelaskan secara gamblang, mengenai hukuman terhadap pelaku pencemar lingkungan. Dengan adanya pasal ini, seharusnya pemerintah daerah dan kepolisian sudah dapat bertindak, menangkap dan memenjarakan mereka yang dengan sengaja membuang bangkai babi ke sungai. Undang-undang ini sejatinya sudah bisa dijadikan landasan hukum untuk menjerat pelaku pencemar lingkungan, khususnya oknum peternak atau pengusaha yang sengaja membuang bangkai ternaknya di Sungai Bedera dan Danau Siombak.***
Penulis adalah Jurnalis yang berdomisili di Medan.
Terkini

Sabtu, 14 Desember 2019