IQ Bukan Segalanya
Kamis, 21 November 2019 | Dibaca 284 kali
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd SH.
Pernahkah pembaca mengenal Bill Gates? Ia telah bisa membuat program komputer dalam usia 13 tahun. Program komputer telah membuatnya terobsesi, sehingga ia merelakan kuliahnya di universitas bergengsi di Amerika. Kini sekitar 70-80 persen program komputer dunia berasal dari kantornya Bill Gates.
Steve Jobs (almarhum) anak yang nakal pada waktu muda dan gemar elektronika. Ia meninggalkan kuliahnya dan berhasil dalam tiga industri yang berbeda, yaitu musik, komputer dan film animasi. Sergey Brin Larry Page juga merelakan program doktornya karena terobsesinya untuk mengkomersialkan hasil riset mesin pencarinya.
Di Indonesia juga tak sedikit orang-orang hebat yang punya prestasi akademik biasa biasa saja, bahkan ada yang tak tamat SD. Pernahkah pembaca tahu bahwa Andre Wongso sang motivator papan atas Indonesia bahkan beberapa negara Asia, ternyata di sekolah bukan sosok yang memiliki prestasi akademik. Ini hanya sekadar contoh. Sejatinya dunia berpihak kepada orang-orang yang berpengharapan yang pantang menyerah untuk menggapainya. Orang Arab bilang man jada wajada (siapa yang bersungguh sungguh akan mendapat atau berhasil).
Ya, keberhasilan ataupun prestasi tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki IQ (intelligence quotient) yang tinggi. Justru orang-orang besar dunia memiliki IQ yang biasa-biasa saja. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabnya sederhana saja: mereka memiliki motivasi yang jelas apa ingin dicapai. Karenanya, Einsten mengemukakan, bakat hanya satu persen, selebihnya adalah kerja keras untuk memperoleh apa yang diingini atau dicita-citakan.
Pribadi dengan tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi belum tentu memiliki prestasi yang baik. Namun, bila kita memiliki motivasi yang tinggi, maka prestasi pun biasanya baik.
Pada dasarnya setiap pribadi (person), ingin berprestasi. Kita mau melakukan yang terbaik dalam rangka menumbuhkan kepercayaan diri dan pembentukan konsep diri yang positif.
Lihatlah kehidupan para balita (bawah lima tahun) yang suka sekali bertanya 'Kenapa?' 'Ini apa?' ' Untuk apa?' 'Punya siapa?' Pertanyaan itu seringkali meluncur tak henti dari mulut si kecil. Dengan rasa ingin tahu begitu besar, yang dituangkan dalam pertanyaan, akhirnya balita pun mengetahui banyak hal. Tahu kalau api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan lain sebagainya.
Bukan Segalanya
Tersebutlah si A dan si B yang sama-sama siswa SMA. Si A memiliki IQ 150, sementara si B hanya 110 saja. Tetapi prestasi belajar si B jauh lebih baik ketimbang si A. Kenapa ini bisa terjadi? Si A karena merasa jenius, belajar ogah-ogahan, sementara si B karena merasa IQ-nya hanya rata rata saja, ia belajar lebih keras dan tekun. Hasilnya cukup gemilang buat si B.
Karena si B belajar lebih tekun, ia pun disukai guru. Karena guru suka padanya, si B pun suka pada guru. Si B juga menyukai orang tua, dan anggota keluarganya, begitu juga sebaliknya, orang tua dan keluarganya menyukai si B karena bangga terhadap pribadi si B.
Kenapa tidak semua dari kita seperti B. Malah ada yang belajar dengan rasa enggan atau seperti terpaksa dalam mengerjakan tugas sekolah sampai mogok masuk sekolah?
Jawabnya sederhana saja, kita kehilangan motivasi. Motivasi adalah faktor pendukung yang dapat mengoptimalkan kecerdasan dan membawa kita meraih prestasi.
Orang yang memiliki motivasi umumnya akan memiliki prestasi yang baik. Sebaliknya, rendahnya motivasi akan membuat prestasi menurun. Sebab, motivasi merupakan perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai dengan adanya dorongan afektif dan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
Motivasi akan mendorong siapa saja berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan. Dengan motivasi, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh tanpa dipaksa.
Tidak Mampu
Saya punya teman yang berasal dari keluarga tidak mampu secara finansial. Ia sekolah sembari berjualan serabutan. Setelah SMA, ia membuka usaha kelontong yang dimulai dengan modal- ketika itu sekitar tahun 80-an- Rp 40.000 saja. Belakangan, usaha kelontongnya telah berubah menjadi toko dan beberapa unit usaha lainnya. Ia pun telah pula berhasil menyandang predikat sarjana ekonomi.
Apa yang memotivasi teman tersebut untuk maju? Ia melihat keluarga dan orang-orang sekelilingnya yang tidak berpendidikan (formal maupun informal) akan sangat sulit untuk memperbaiki nasib. Maka di dalam benaknya tertanam semangat belajar... belajar dan belajar. Konsep belajar seumur hidup (long life education) tertanam dalam benaknya.
Kemampuan untuk memiliki persepsi (pandangan) yang utuh tentang motivasi belajar memang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan; sikap dan cara mengajar guru, pola didik orang tua dan sikap teman-teman.
Tapi, pribadi kuat seperti teman untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, serta mengembangkan semua aspek dimensi manusia, kognitif, karakter, aestitika, dan fisik. Dibandingkan dengan bangsa kita, kepercayaan diri bangsa Tiongkok lebih kuat karena dasar yang dibangun Mao dan capaian-capain kasat mata, seperti olimpiade dan kemajuan ekonominya.
Kendati terlambat bangsa kita telah mengakui pentingnya pendidikan sebagai fundamen bangunan bangsa. Hal itu terbukti dengan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Kendati implementasinya belum sempurna dan konsepnya belum kuat, sehingga terkesan sibuk menghabiskan anggaran, keputusan politik bangsa bahwa pendidikan harus diprioritaskan sudah berada di jalur benar.***
Penulis adalah Pimpinan BT/BS BIMA Indonesia.
Terkini

Kamis, 12 Desember 2019