Mengolahragakan Pilpres
Senin, 26 November 2018 | Dibaca 857 kali
Oleh: Bersihar Lubis. Saya berharap konstestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) bagai pertandingan olahraga. Ibarat main catur, hanya akan asyik jika ada “kawan bertanding.” He-he, masya main catur sendirian?
Lalu, masing-masing melancarkan strategi yang jitu. Menguasai medan tempur, mendesak pesaing hingga terpojok. Lalu skakmat.
Main catur akan berantakan manakala ada seorang pemain menyerakkan bidak-bidak catur dari papan catur. Pertandingan gagal. Kontestasi bubar.
Seorang petarung catur bersyukur ada kawan bertanding. Sama halnya dengan petinju hanya akan seru mengayunkan jab, straight, hook dan uppercut, jika ada petinju lain. Jika tidak, dia hanya memukul angin, dan alangkah sia-sianya.
Saya kira beruntunglah Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, memperoleh “kawan bertanding” untuk memperebutkan kursi Presiden dan Wakil Presiden.
Tinggal bagaimana caranya memenangkan pertandingan. Saya berharap akan seperti pertandingan sepakbola. Adu taktik dan strategi.Enak ditonton yang meraih sorak-sorai dan tepuk tangan.
Jika ada pemain yang free kick, jangan sampai penonton turun ke lapangan dan memukuli si pemain yang kena kartu merah. Lebih tak seronok jika fans yang berbeda juga turun ke lapangan sehingga terjadi bakuhantam antarpendukung. Percayakanlah kepada wasit, dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Juga aparat kepolisian.
Kampanye pilpres rasanya memang cocok disejajarkan dengan olahraga permainan seperti tenis meja, bola volley, bulutangkis, atletik, renang dan sebagainya. Tak hanya antar kandidat, tetapi juga antar tim sukses dan antarrelawan.
Tentu saja tidak seronok jika ada pemain yang terpental karena body chaging saat adu bahu, lalu memaki dengan ucapan “fuck you.” Apalagi jika sampai memukul. Saya ingat dulu, seorang pemain sepakbola nasional terkenal pernah “memantati” penonton karena disoraki penonton bermain curang.
Perbuatan nonteknis itu sudah di luar kontestasi Pilpres (dan Pemilu). Saya kecewa jika dalam masa kampanye Pilpres yang hampir dua bulan ini terdengar istilah yang merendahkan satu sama lain. Bahkan saling sindir dan ejek mengejek.
Bahasa politik tentu berbeda dengan bahasa “semau gue.” Bahasa politik adalah serangkaian kata-kata yang keluar dari pikiran yang menyangkut kepentingan publik, bangsa dan negara. Tentu bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat pemilih.
Tapi harus beretika, penuh sopan santun. Bukan berarti harus “bermanis-manis” tetapi juga bisa keras dan tegas terhadap misalnya praktek korupsi, KKN serta berbagai fenomena yang menyakiti hati rakyat.
Gelembung Sabun
Barangkali, kontestasi Pilpres bisa dimetaforakan bagaikan perlombaan loncat indah. Pemain berupaya membuat gerakan yang indah ketika meloncat di angkasa sebelum kecemplung ke kolam. Ada aksi akrobat yang indah dipandang mata, atau dengan gerakan improvisasi yang menawan.
Loncat indah paling menemukan bentuknya dalam kampanye ketika menyampaikan berbagai gagasan. Beradu cemerlang, indah dan memikat hati rakyat. Namun bukan seribu janji di lidah tak bertulang.
Misalnya, bagaimana caranya mendongkrak rupiah agar lebih perkasa terhadap dominasi dolar Amerika Serikat. Dolar paman Trump ini telah membuat industri dalam negeri yang menggunakan komponen barang impor termehek-mehek. Daya saing pun tergerus sehingga menurunkan ekpor pula.
Dunia usaha sangat menunggu-nunggu apa program dan gagasan kedua kandidat mengatasi hal tersebut. Termasuk bagaimana meningkatkan ekspor komoditas Indonesia agar defisi neraca berjalan tidak kian menganga lebar.
Sebetulnya berjibun isu bangsa yang dapat dijadikan tema kampanye. Misalnya, bagaimana mengurangi ketergantungan kepada impor, apalagi komoditas pangan. Sebab jika impor terus menerus akan merugikan petani komoditas pangan dalam negeri.
Tak kalah penting bagaimana meminimalkan kasus korupsi yang terus marak meskipun sudah banyak yang menjadi pasien KPK. Hanya mengandalkan penindakan KPK, tapi mengabaikan pencegahan hanyalah bagai “gali lubang tutup lubang.”
Masyarakat ingin mendengar apa program dan gagasan kedua kandidat meningkatkatkan pengawasan internal. Sebab pada umumnya pelaku korusi didominasi oleh para pejabat pemerintahan maupun anggota legislatif, bahkan juga merembes kepada para penegak hukum, seperti kalangan hakim.
Dengan kata lain, pengawasan internal pemerintahan masih gagal. Padahal ada Inspektorat Jenderal, BPK, BPKP hingga para inspektorat di provinsi dan kabupaten-kota.
Penanggulangan kemiskinan juga masih menjadi masalah. Sudah beratus triliun saban tahun digelontorkan untuk dana perlindungan sosial, tapi angka kemiskinan tidak turun secara drastis. Rasanya tak seimbang dana besar yang dikucurkan dengan penurunan angka kemiskinan.
Para kandidat agaknya bisa menawarkan jalan keluar. Jangan-jangan penyaluran subsidi itu tidak efektif. Tidak menimbulkan efek produktif tapi malah mengakibakan ketergantungan kepada subsidi. Barangkali, program bantuan itu harus dievaluasi. Misalnya, berikanlah “kail” dan bukan “ikan.”
Saya kira akan menggairahkan sekiranya para kandidat dan timses-nya gencar melakukan adu program dan adu gagasan. Satu kandidat memandang dari satu sudut, kandidat lain membalasnya dengan pandangan dari sudut berbeda.
Program dan gagasan seorang kandidat merangsang kandidat lain menggali program dan gagasan yang lebih cemerlang. Ada tesa ada antitesa. Bahkan lebih gemilang lagi jika bisa menawarkan sintesa.
Rakyat pun tinggal memilih program dan gagasan siapa yang memikat hati. Rakyat pun akan menimbang, apakah program dan gagasan itu rasional dan mungkin dilaksanakan. Bukan menawarkan mimpi-mimpi indah bagaikan gelembung sabun yang cantik sesaat tapi kemudian pecah dan lenyap.
Saya kira, itulah yang didam-idamkan rakyat. Bukan menebar fitnah, menyerang pribadi. Tidak dengan tema remeh temeh yang saling melecehkan.
Ibarat gadis, ya, beradu rupawan dengan isi kepala yang bermutu. Ibarat pemuda juga beradu tampan namun dengan pikiran yang cerdas. Namun tidak narsis, karena memuji diri sendiri secara berlebihan adalah gejala kejiwaan yang sakit.
Jadilah kampanye Pilpres selama 6 bulan bagaikan pertandingan sepakbola yang enak ditonton. Saling mempelajari strategi lawan, mengenali kelemahan dan kekuatannya, sehingga kompetitor menemukan inspirasi untuk menampilkan gebrakan yang tak terduga.
“Kawan bertanding” adalah sebuah studi menarik, bukan untuk saling melecehkan. ***
Penulis adalah jurnalis tinggal di Medan.
Terkini

Kamis, 12 Desember 2019