Menguji Netralitas ASN
Jumat, 12 Januari 2018 | Dibaca 343 kali
Oleh: Rholand Muary. Tahun 2018 menjadi tahun politik di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara akan digelar pesta demokrasi yakni Pemilihan kepala daerah (Pilkada). Total ada delapan Kabupaten/Kota yang melaksanakannya yaitu Langkat, Deli Serdang, Dairi, Batu Bara, Tapanuli Utara, Padang Sidempuan, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara ditambah Gubernur pada tingkat Propinsi Sumatera Utara.
Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagai bentuk perwujudan demokrasi dalam era otonomi daerah di berbagai daerah pada kurun waktu satu dasawarsa belakangan ini, secara nyata telah membawa aparatur daerah (ASN/PNS) pada pusaran pertarungan kekuasaan, yang efeknya sangat tidak produktif dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik di daerah.
Beberapa bakal calon kepala daerah di Sumatera Utara berasal dari petahana (incumbent) dimana mereka memiliki infrastruktur birokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap mempunyai kuasa untuk melakukan mobilisasi massa dan pemilih untuk kepentingan Pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, cara-cara ini biasa digunakan para pasangan calon yang akan bertarung di Pilkada. Para ASN biasanya kembali diorganisir dan diperintahkan untuk memenangkan calon tertentu dengan iming-iming jabatan serta penugasan yang terkesan memaksa. Kondisi ini sangat memungkinkan munculnya potensi tarik-menarik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang dengan memanfaatkan keberadaan ASN/PNS sebagai pendukung. Hal ini tentu berbeda dengan pasangan calon yang bukan bagian dari kekuasaan yang tidak akan memanfaatkan potensi birokrasi.
Pada tanggal 27 Desember 2017 yang lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengirimkan surat mulai dari menteri kabinet kerja sampai ke Gubernur, Bupati dan Walikota mengenai pelaksanaan netralitas ASN. Dimana berdasarkan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Begitu juga dengan Undang-Undang (UU) Nomor: 10 Tahun 2016, menegaskan, pasangan calon dilarang melibatkan ASN anggota Polri dan anggota TNI, dan Kepala Desa atau perangkat Desa lainnya. Artinya sudah ada ketetapan hukum melalui Undang Undang dan Surat edaran yang diterbitkan oleh Menteri PANRB Bahwa ASN, Polri, TNI, Kepala Desa dilarang untuk terlibat dalam politik menjelang pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Etika ASN
Salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah “Netralitas” dimana setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepentingan siapa pun. Etika ASN dimaksudkan bahwa ASN wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Maka ASN dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik.
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, Maka PNS/ASN dilarang menghadiri deklarasi bakal calon/pasangan calon Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut politik. ASN juga dilarang mengunggah, menanggai (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/paslon kepala daerah, visi dan misinya, maupun keterikatan lainnya dengan bakal/calon kepala daerah dengan media online maupun media sosial. Termasuk juga ASN tidak diperkenankan melakukan foto bersama dengan bakal calon kepala daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan.
Adapun sanksi yang diberikan jika melanggar kode etik ASN tersebut mulai dari sanksi moral, adminstratif, pelanggaran disiplin ringan hingga berat. Tujuan diberlakukannya etika dan aturan ASN menghadapi momen-momen politik ini ialah menciptakan iklim yang kondusif dan memberikan kesempatan bagi ASN untuk melaksanakan hak pilihnya secara bebas dengan menjaga asas netralitasnya tanpa ada paksaan dan iming-iming jabatan tertentu.
Dilematis ASN
Berdasarkan pengalaman sebelumnya di berbagai daerah dampak dari proses dukung-mendukung yang dilakukan oleh pejabat birokrasi dan ASN daerah dalam pilkada membawa pengaruh, diantaranya penyalahgunaan wewenang jabatan oleh pejabat birokrasi daerah untuk membantu proses pemenangan calon yang didukung, serta apabila calon petahana/incumbent mencalonkan kembali sebagai kepala daerah untuk ke-2 kalinya. Intimidasi secara tidak langsung sering dihadapi, tindakan netral dianggap tidak mendukung, hal ini akan berpengaruh pada karir dan jabatan yang diduduki oleh ASN saat ini.
Dapat dikatakan fungsi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan sistem dalam pengelolaan manajamen kepegawaian ASN yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), khususnya terkait dengan pengangkatan dalam jabatan, promosi dan mutasi belum maksimal dilakukan khususnya menghadapi momen politik. Belum adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran Netralitas oleh ASN secara tegas dengan penerapan sanksi (hukum dan aministratif). Disamping memberikan sanksi kepada ASN/PNS, perlu juga dipertimbangkan larangan dan sanksi tegas terhadap Bakal Calon Kepala Daerah (Balonkada) yang melakukan upaya menarik dan memanfaatkan pejabat birokrasi/ASN/PNS kedalam proses dukung-mendukung dalam penyelenggaraan pilkada. Tentunya kita berharap Pilkada di Sumatera Utara mengedepankan cara-cara politik yang bemoral, dan masyarakat juga harus teredukasi secara kritis atas fenomena ASN yang berpotensi terlibat dalam Pilkada 2018. ***
Penulis adalah Sosiolog, mengajar di UIN Sumut
Terkini

Kamis, 19 April 2018