Menyerang dengan Fakta
Rabu, 13 Februari 2019 | Dibaca 142 kali
Oleh: Sion Pinem
Debat capres dan cawapres tahap kedua, yang diselenggarakan pada tanggal, 17 Februari 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mengambil topik energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, serta infrastruktur, tentunya sangat ditunggu masyarakat di seluruh Indonesia. Debat kedua kali ini berbeda dengan debat yang pertama, karena pada debat kedua ini kisi-kisi pertanyaan debat tidak dibocorkan sebelumnya kepada masing-masing paslon.
Pada debat pertama banyak kalangan yang merasa kurang puas karena selain kisi-kisi debat sudah diberitahukan sebelumnya, situasi debat juga datar-datar saja karena kedua paslon kurang berani memberikan pertanyaan menyerang dengan dukungan fakta-fakta. Selain itu, waktu yang diberikan moderator kepada masing-masing paslon terkesan relatif singkat, sehingga masing-masing paslon dalam sesi tertentu belum selesai memberikan penjelasan, waktunya sudah habis. Disamping itu, jawaban-jawaban yang diberikan paslon pun belum masuk ke substansinya. Misalnya saja dalam kasus Hak Azasi Manusia (HAM) pada debat pertama, masyarakat sebenarnya menunggu bagaimana format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Trisakti, kasus Semanggi, kasus orang hilang secara paksa di masa lalu dan seterusnya, justru tidak muncul sama sekali dalam pertanyaan debat.
Banyak kalangan yang menginginkan pada debat kedua ini kedua paslon harus lebih berani menyerang dengan pertanyaan yang substantif yang didukung dengan fakta-fakta bukan sekadar persepsi-persepsi saja.
Fakta atau Persepsi?
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, fakta adalah hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi, sedangkan persepsi adalah: 1. tanggapan ( penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan, 2. proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.
Ada beberapa hal yang harus dijelaskan oleh masing-masing paslon terkait dengan materi kampanye yang selama ini simpang siur di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, untuk topik sumber daya alam, ada tim kampanye yang mengatakan sumber daya alam kita sebagian besar dikuasai asing. Dalam debat nanti, pernyataan ini haruslah diuji dengan mengemukakan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan didukung data-datanya yang valid oleh masing-masing paslon. Atau untuk topik infrastruktur, misalnya. Apakah pembangunan infrastruktur itu penting atau tidak berguna? Kalau penting atau tidak penting, mengapa? Demikian juga untuk kasus lingkungan hidup, bagaimana kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi: benarkah ada pihak-pihak yang meraup keuntungan dalam kasus itu? Siapa pihak yang diuntungkan itu? Kalau ada, bagaimana mencegahnya? Untuk masalah energi, adalah masalah impor bahan bakar fosil yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan neraca perdagangan kita defisit? Kalau tidak impor, bagaimana solusinya? Hal yang sama, untuk pangan. Isu-isu tentang swasembada pangan tentu harus digali oleh kedua paslon, khususnya yang dampaknya langsung terhadap keseimbangan gizi masyarakat kita, khususnya untuk Indonesia Timur yang sering terjadi kasus kekurangan gizi pada anak karena pangan tidak tercukupi. Atau bagaimana menjelaskan negara kita yang katanya negara pertanian, ternyata tidak bisa mengimpor hasil pertanian, sebanyak negara Thailand dan Vietnam, misalnya.
Dengan menggali isu-isu seperti ini dalam debat, baik oleh panelis, melalui moderator dan juga masing-masing paslon, pemilih akan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing paslon melalui paparan, pandangan dan jawabannya. Mungkin juga dalam debat tersebut akan terjadi klarifikasi-klarifikasi pernyataan saat kampanye baik oleh paslon sendiri atau tim kampanyenya, yang selama ini mungkin menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat.
Menurut saya, jangan sampai paslon melakukan, “lempar batu sembunyi tangan,” terhadap apa yang sudah ia katakana selama ini dalam masa kampanye, termasuk oleh tim suksesnya. Jika hal ini terjadi, berarti paslon tersebut sedang melakukan tindakan tidak bertanggung jawab dan merugikan masyarakat pemilih karena pernyataannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Jika hal diatas terjadi maka calon pemilih bisa memberikan penilaian apa yang selama ini dan sedang dikatakan oleh masing-masing paslon, berupa fakta-fakta atau sekedar persepsi saja. Fakta menyatakan keadaan yang benar-benar terjadi dan ada buktinya (apakah berupa data empiris, hasil penelitian, literatur yang sumbernya sahih), sedangkan persepsi lebih bagaimana penerimaan seseorang terhadap sesuatu berdasarkan pemikirannya ataupun pancaindranya, yang tentunya unsur subjektifitasnya sangatlah tinggi. Persepsi setiap individu kemungkinan bisa saja berbeda-beda, sehingga jauh dari sebuah kekonsistenan sebagai salah satu syarat yang layak mendapatkan kepercayaan sebagai data yang valid.
Pemilih Cerdas atau Pemilih Pemandu Sorak?
Ada dua tipe calon pemilih. Yang pertama adalah pemilih cerdas, yaitu mereka yang menilai paslon dari program yang ditawarkan, baik itu solusi atau solusi alternatif yang ditawarkan beserta dengan detailnya masing-masing. Lalu, minimal pemilih cerdas akan membandingkan program kedua paslon dengan data dan fakta yang ada berdasarkan keilmuannya masing-masing, lalu terakhir menentukan pilihan. Sedangkan pemilih pemandu sorak cenderung menilai tidak berdasarkan program yang ditawarkan. Baginya paslon pilihannya adalah yang paling baik, dan yang lain jelek. Kalau perlu, sebelum paslon lain menawarkan programnya, calon pemilih pemandu sorak sudah meneriakinya, bahkan mengejeknya.
Bagi calon pemilih pemandu sorak, sebenarnya debat kedua paslon tidaklah bermakna karena mereka tidak menyimak program yang ditawarkan kedua paslon, bahkan tidak berminat menggunakan akal sehatnya. Celakanya mereka akan cenderung melihat penampilan para paslon, dan bila menemukan ada sesuatu yang ganjil, seperti cara berpakaian, gaya berjalan, cara berdiri, mimik, dandanan dan seterusnya, akan dijadikan bahan ejekan, gunjingan dan tertawaan.
Kedua tipe calon pemilih ini tentunya harus kita hargai. Tetapi debat capres dan cawapres harus juga berjalan dengan lancar. Jangan sampai debat capres dan cawapres, menyebabkan rakyat bertengkar, karena debat sendiri tujuannya untuk melihat sejauh mana paslon dapat menawarkan program lima tahun ke depan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian biarlah masing-masing kita calon pemilih belajar untuk memberi penilaian dengan logika kita masing-masing, tanpa harus bertengkar jika kesimpulan kita terhadap masing-masing paslon akhirnya berbeda.
***
Penulis adalah praktisi pendidikan, dan pemerhati masalah sosial ekonomi, bekerja di Jakarta
Terkini

Kamis, 21 Februari 2019