Menyoal Pemberhentian 992 Guru di Simalungun
Jumat, 12 Juli 2019 | Dibaca 592 kali
Singkatnya, guru-guru itu diberhentikan sementara dari tugas mengajar. Tak sampai di situ, tunjangan fungsional mereka pun harus dihentikan. SK itu juga memberikan tenggat waktu selambat-lambatnya November 2019 bagi para guru tersebut untuk meraih gelar S-1.
Memang terdapat beberapa landasan hukum yang menjadi alasan kuat dikeluarkannya SK itu. Di antaranya adalah Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Pasal 82 dinyatakan bahwa guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik, wajib memenuhinya paling lama 10 tahun sejak undang-undang itu berlaku.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 63 menyatakan bahwa guru yang tidak memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik dalam jangka waktu 10 tahun, setelah yang bersangkutan diberi hak memenuhinya, kehilangan hak untuk mendapatkan tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional dan maslahat lainnya.
Namun, saya melihat ada beberapa ‘keresahan’ yang timbul sebagai dampak dari pemberlakuan SK itu, terutama jika kebijakan itu memang benar-benar murni demi alasan peningkatan kualitas guru dan pendidikan di wilayah Kabupaten Simalungun.
Pertama, 992 orang guru yang masih belum bergelar S-1 diwajibkan untuk memperoleh gelar itu selambat-lambatnya November 2019. Kita pasti mafhum, untuk bisa lulus dari program studi setingkat S-1, seorang mahasiswa setidak-tidaknya butuh waktu empat tahun dari mulai awal perkuliahan hingga menyelesaikan tugas penelitian akhir dalam format skripsi.
Sedangkan SK itu resmi keluar per tanggal 26 Juni 2019. Artinya guru-guru hanya punya waktu kurang lebih lima bulan untuk bisa menyelesaikan kuliahnya. Kalau semua guru itu sedang dalam tahap akhir pendidikan S-1, mungkin masih bisa diterima. Akan tetapi, jika mereka sama sekali belum terdaftar atau baru hendak memulai pendidikan S-1, tentu aturan itu sangat tidak masuk akal.
Dengan demikian, patut untuk ditunggu klarifikasi dari pihak-pihak terkait apakah selama ini sebelum SK tadi dikeluarkan, sudah pernah diberikan sosialisasi secara komprehensif dan menyeluruh kepada guru-guru yang menjadi sasaran dan apakah Pemkab selama ini telah menunaikan tanggung jawabnya secara maksimal dalam memfasilitasi keberlanjutan pendidikan guru-guru tadi. Jika tidak, rasa-rasanya kebijakan ini bukan hanya absurd tapi juga ibarat bom waktu yang tinggal menunggu meledak untuk membunuh targetnya. Kedua, dengan alasan zonasi, guru-guru itu diharuskan kuliah di wilayah Pemkab Simalungun. Universitas Efarina (Unefa) secara khusus dipilih menjadi perguruan tinggi tujuan. Konon, beredar luas kabar di dunia maya yang menyebutkan bahwa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dari luar wilayah Pemkab Simalungun tidak diakui. Anehnya lagi, Unefa adalah milik JR Saragih, sehingga nuansa politik dan motif bisnisnya terasa begitu kental.
Biaya perkuliahan di kampus swasta yang mencakup biaya SPP, biaya ujian-ujian, biaya penelitian dan skripsi bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Jika dikalikan dengan 992 orang guru tadi, bisa dibayangkan berapa besar uang masuk yang akan diterima oleh Unefa.
Padahal di sisi lain, tanpa bermaksud mengecilkan peran kampus itu, kualitas Unefa dalam menghasilkan tenaga-tenaga pendidik unggul pun masih perlu dipertanyakan. Betapa tidak, dari 14 prodi yang ada di di kampus itu, baru 11 yang terakreditasi. Itu pun dengan nilai C (sumber: https://ayokuliah.id/universitas/universitas-efarina/).
Apalagi, seperti yang dipaparkan oleh Kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara, Abyadi Siregar di beberapa media, sesuai Permendikbud Nomor 015 Tahun 2009, universitas-universitas yang menjadi tempat penyelenggaraan pendidikan program sarjana (S-1) kependidikan bagi guru dalam jabatan sudah ditetapkan. Untuk wilayah Sumatra Utara, hanya ada tiga kampus yang ditunjuk yaitu Universitas Negeri Medan (Unimed), Universitas HKBP Nomensen (UHN) dan Universitas Simalungun (USI).
Ketiga, Permendikbud No 58 tahun 2008 pada pasal 3 huruf a menyebutkan bahwa penyelenggaraan program S1 kependidikan bagi guru dalam jabatan dilaksanakan dengan mengutamakan hal seperti memungkinkan guru memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh peningkatan kualitas akademik dengan tidak mengganggu tugas dan tanggung jawabnya di sekolah.
SK Nomor 188.45/5929/25.3/2019 yang dikeluarkan JR Saragih tadi jelas tidak sejalan dengan aturan ini. Sebab dengan pemberhentian sebanyak 992 guru, meski sementara, kekosongan yang mereka tinggalkan mau tidak mau harus ditutupi oleh guru-guru lain. Ini jelas akan mengganggu proses kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah tempat guru-guru itu bertugas karena mengakibatkan defisit tenaga guru.
Keempat adalah menyangkut masalah hati nurani. Seperti yang dipaparkan oleh Ganda Armando Silalahi dalam petisi di situs www.change.org, aturan yang mewajibkan 992 guru untuk melanjutkan jenjang pendidikan S-1 dinilai sangat memberatkan sekaligus tidak efektif bagi guru-guru yang sudah mendekati usia pensiun.
Sebagai contoh, jika ada guru-guru yang sudah berusia 55 tahun, menghabiskan waktu empat tahun untuk kuliah jelas bukan langkah yang bijak. Bayangkan ketika mereka lulus empat tahun kemudian—itu pun agak meragukan karena usia mereka yang sudah tua pasti akan sangat berpengaruh pada efektifitas dalam belajar—mungkin pengabdian mereka hanya tinggal satu atau dua tahun saja.
Artinya, guru-guru yang masuk kategori ini bisa dipastikan sudah bekerja selama puluhan tahun. Terlepas dari kualitas mereka yang mungkin tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman dan menurut peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya mereka sudah berbuat banyak selama puluhan tahun mengajar. Hitung-hitung sebagai apresiasi negara terhadap para pahlawan tanpa tanda jasa, alangkah bijaknya jika mereka diberikan pengecualian dan dibiarkan untuk mengabdi sekaligus mendapatkan kembali hak-haknya di sisa waktu yang tidak lama lagi akan memasuki masa purnabakti.
Sebagai penutup, mengingat banyaknya sorotan tajam dari masyarakat mengenai polemik ini, ada baiknya lembaga-lembaga terkait, seperti Kemdikbud, KPK dan Ombudsman memberikan perhatian lebih. Hal ini penting demi kejelasan nasib 992 guru dan yang juga tidak kalah penting adalah apabila dalam kasus ini sampai terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of authority).
Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.
Terkini

Minggu, 8 Desember 2019