Rompi Orange Kepala Daerah
Kamis, 12 Juli 2018 | Dibaca 437 kali

foto/ilustrasi
Oleh: Rholand Muary
KASUS Kepala daerah yang terjerat pusaran korupsi seperti tidak ada habisnya. Korupsi dan penyelenggara negara merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Kasus-kasus korupsi yang berhasil dibongkar lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan betapa kasus korupsi menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh kepala daerah dan pejabat lainnya. Keterlibatan pejabat publik dan birokrasi menjadi suatu keniscayaan, praktik korup tidak hanya dilakukan pada level pusat, namun juga menggurita dan sistemik hingga ke level bawah.
Baru-baru ini Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf bersama Bupati Bener Meriah, Ahmadi harus berurusan (KPK) karena diduga memberikan suap Rp 500 juta dari commitment fee Rp 1,5 miliar kepada Irwandi demi mendapatkan izin proyek infrastruktur yang menggunakan alokasi dana otonomi khusus atau otsus. Sebagian dari duit suap Rp 500 juta itu diduga akan digunakan untuk kegiatan Aceh Marathon 2018.
Hal yang mengejutkan lainnya, yakni KPK juga menetapkan status tersangka kepada Calon Gubernur Maluku Utara terpilih, Ahmad Hidayat Mus yang menang Pilkada Maluku Utara tahun 2018 diduga melakukan korupsi dengan modus pengadaan proyek fiktif, yaitu pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD Kabupaten Kepulauan Sula 2009. Saat itu, Ahmad berstatus sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Sula 2005-2010, dugaan kerugian negara berdasarkan penghitungan dan koordinasi dengan BPK sebesar Rp 3,4 miliar.
Sebelumnya juga ada mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola dan mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Beberapa kepala daerah dari pulau Sumatera ini merupakan contoh Kepala Daerah yang harus menggunakan “rompi orange” guna menjalani pemeriksaan di KPK.
Birokrasi Patrimonial
Menurut Djafat W (2006), analisis maraknya praktik korupsi di Indonesia lebih mengedepankan, pada pendekatan relasi Patrimonialistik dimana melalui relasi ini, para birokrat atau pejabat negara, pengusaha, penegak hukum bertemu dan membentuk jejaring korupsi, yang memberikan keuntungan bagi mereka dalam hubungan patron dan klien. Dalam konteks birokrasi, Weber. Sosiolog asal Jerman mengatakan bahwa sistem birokrasi Patrimonial, merupakan sistem dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan Familier, hubungan pribadi dan hubungan “Bapak-anak buah” (Patron Client).
Budaya birokrasi ini, tidak terlepas dari warisan Orde Baru, dimana citra birokrasi dijadikan mesin politik, layanan birokrasi justru menjadi causa prima terhadap maraknya praktik korupsi. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintahan sangat dominan. Kondisi ini sudah cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak dapat dibedakan. Begitu juga dengan kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah terlihat jelas dengan banyaknya kasus korupsi para pejabat politik maupun pejabat birokrasi yang diungkap oleh KPK.
Political will atau kemauan politik yang pada awalnya digadang-gadang sebagai salah satu prasyarat penting dalam pemberantasan korupsi justru dianggap sebagai jargon politik belaka, hal ini dapat dilihat dari istilah hana fee yang kerab dilontarkan oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang maksudnya tidak ada pungutan fee dalam pembangunan di Aceh. Begitu juga dengan Calon Gubernur Malut terpilih, Ahmad Hidayat Mus juga memasukkan isu anti korupsi dalam kampanyenya.
Berdasarkan data yang dihimpun melalui laman kpk.go.id bahwa pada 2017 tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan dengan 93 perkara, diikuti pengadaan barang/jasa sebanyak 15 perkara, serta TPPU sebanyak lima perkara. Sementara, data penanganan perkara berdasarkan tingkat jabatan, mengungkapkan ada 43 perkara yang melibatkan pejabat eselon I hingga IV dan 27 perkara melibatkan swasta serta 20 perkara melibatkan anggota DPR/DPRD.
Selain itu, terdapat 12 perkara lainnya yang melibatkan bupati/walikota dan wakilnya. Di antara kasus-kasus yang ditangani tersebut, terdapat 19 kasus yang merupakan hasil tangkap tangan. Jumlah kasus tangkap tangan di tahun 2017 ini telah melampaui tahun sebelumnya dan merupakan terbanyak sepanjang sejarah KPK berdiri. Dari 19 kasus tersebut, KPK telah menetapkan 72 orang sebagai tersangka dengan beragam profil tersangka, mulai dari aparat penegak hukum, anggota legislatif hingga kepala daerah. Jumlah tersebut belum termasuk tersangka yang ditetapkan kemudian dari hasil pengembangan perkara
Masyarakat Melawan Korupsi
Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara. Dalam pendekatan sosiologis, mengutip teori Weber tentang idealitas, bahwa birokrasi kita identik dengan pejabat dan jabatan yang merupakan struktur sosial yang memiliki peranan penting.
Bahwa pejabat memiliki tugas-tugas khusus dan fasilitas yang dimilikinya dalam melaksanakan jabatannya merupakan pemberian orang lain. Atas dasar itu, kita punya keyakinan masyakat masing mempunyai peluang untuk keluar dari belenggu korupsi, apabila masih ada segelintir orang yang idealis dalam masyarakat, namun menurut pendapat Chambliss dikutip Aditjindro, menyebut justru hal tersebut dapat dibantah, sebab perubahan dalam masyarakat itu sendiri akan mengalami jalan buntu jika sudah membentuk suatu jejaring yang melibatkan unsur masyarakat.
Hal yang paling sederhana dapat dianalisis, yakni keluarnya peraturan KPU No 20 tahun 2018 yang melarang eks napi korupsi maju menjadi calon legislatif. Peraturan ini membuat beberapa partai politik geram, pasalnya beberapa eks napi koruptor yang berasal dari parpol akan mencalonkan kembali dan sudah ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Ini membuktikan, bahwa strategi pencegahan untuk melawan korupsi juga lahir dari penyelenggara negara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan didukung penuh oleh KPK. Arah reformasi birokrasi dan budaya politik harusnya dapat berbanding lurus dalam strategi melawan korupsi kedepannya, namun jejaring korupsi yang datangnya dari mana saja bisa saja memenjarakan pihak-pihak yang membuat aturan bertentangan dengan status quo nya para koruptor. Harapannya dengan adanya peraturan ini, masyarakat dapat memilih wakilnya yang bersih dari perilaku korup, dan tidak tersandera dengan beban moral masa lalu.
Korupsi menjadi kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime). Bahkan, dalam Konferensi Asosiasi International Otoritas Pemberantasan Korupsi (International Association of Anti-Corruption Authorities, IAACA) di Beijing, disepakati bahwa korupsi merupakan kejahatan lintas negara (transnational crime). Kejahatan ini dapat menimpa kepada siapa saja yang mempunyai kekuasaan. Kita patut mengambil pelajaran kepada negara tetangga kita, bagaimana mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak dikenai dakwaan, terkait skandal korupsi miliaran dolar badan investasi negara, 1MDB. Hal yang sama dengan mantan Presiden Korea Selatan, Park Geun-Hye yang divonis bersalah melakukan korupsi.
Pemberantasan korupsi pada dasarnya bukan hanya tugas sejumlah lembaga negara atau penegak hukum saja, tetapi juga perlu peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat yang diperlukan tidak hanya terbatas pada pengaduan dan laporan terkait tindak pidana korupsi, namun peran serta masyarakat yang baik harus terus dibangun salah satunya melalui pendidikan. Masyarakat perlu pemahaman terkait nilai-nilai integritas dan penanaman semangat antikorupsi dalam dirinya serta pengetahuan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ada.
Sehingga apabila mereka telah mengerti dan memahami, mereka bisa melakukan tindakan preventif terhadap tindak pidana korupsi yang akan terjadi. Pencerminan kehendak masyarakat yang tidak mentolerir tindak pidana korupsi juga harus ditumbuhkan sehingga akhirnya masyarakat dapat berperan sebagai kekuatan yang mengawasi perilaku individu khususnya warga masyarakat dalam memilih pemimpinnya dan instansi pemerintah dalam mekanisme birokrasi negara agar punya kesamaan persepsi bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang wajib untuk diperangi. ****
Penulis adalah Sosiolog, mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumut dan Universitas Medan Area (UMA)
Terkini

Sabtu, 23 Februari 2019